Wikipedia

Hasil penelusuran

Sabtu, 18 Februari 2017

Sejarah 3 Suku/Etnis Di Provinsi NTB

1. Etnis Mbojo (Bima)
Suku Bima atau biasa disebut juga suku Dou Mbojo merupakan Suku yang mendiami Kabupaten Bima, Kota Bima, dan Kabupaten Dompu. Suku ini Telah ada sejak Jaman Majapahit.

Etimologi

Ada beberapa versi yang mengatakan tentang asal mula kata Bima menjadi suku tersebut yaitu :

1. Ada pendapat yang mengatakan, Bima berasal dari kata “Bismillaahirrohmaanirrohiim”. Hal ini karena mayoritas suku Bima beragama Islam.

2. Menurut sebuah legenda, kata Bima berasal dari nama raja pertama suku tersebut, yakni Sang Bima.

Nama Bima sebenarnya merupakan sebutan dalam bahasa Indonesia, sedangkan masyarakt Bima sendiri menyebut dengan kata Mbojo. Dalam suku Bima sendiri terdapat dua suku, yakni suku Donggo dan suku Mbojo. Suku Donggo dianggap sebagai orang pertama yang telah mendiami wilayah Bima.

Sejarah Bima

Menurut Legenda yang tertulis dalam Kibat Bo’, suku Bima mempunyai 7 pemimpin di setiap daerah yang disebut Ncuhi. Pada masa pemberontakan di Majapahit, salah satu dari Pandawa Lima, Bima, melarikan diri ke Bima melalui jalur selatan agar tidak ketahuan oleh para pemberontak lalu berlabuh di Pulau Satonda.

Setelah berlabuh, Bima menetap dan menikah dengan salah seorang putri di wilayah tersebut, hingga memiliki anak. Bima adalah seseorang yang memiliki karakter kasar dan keras, tapi teguh dalam pendirian serta tidak mudah mencurigai orang lain. Karena itulah, para Ncuhi mengangkat Bima menjadi Raja pertama wilayah tersebut yang kemudian menjadi daerah yang bernama Bima. Sang Bima dianggap sebagai raja Bima pertama.

Tetapi Bima meminta kepada para Ncuhi agar anaknyalah yang diangkat sebagai raja. Karena dia akan kembali lagi ke Jawa. Bima menyuruh ke dua anaknya untuk memerintah Kerajaan Bima. Karena Bima berasal dari Jawa, sehingga sebagian bahasa Jawa Kuno kadang-kadang masih digunakan sebagai bahasa halus di Bima.

Sistem kepercayaan
Mayoritas suku Bima menganut agama Islam dan sebagian kecil menganut agama Kristen dan Hindu. Namun, ada satu kepercayaan yang masih dianut oleh suku Bima yang disebut dengan Pare No Bongi. Pare No Bongi merupakan kepercayaan asli orang Bima yang menganut kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Dunia roh yang ditakuti adalah Batara Gangga sebagai dewa yang memiliki kekuatan yang sangat besar sebagai penguasa.

Selain itu juga ada Batara Guru, Idadari sakti dan Jeneng, roh Bake dan roh Jim yang tinggal di pohon atau gunung yang sangat besar dan dipercaya berkuasa untuk mendatangkan penyakit, bencana, dan lainnya. Juga terdapat sebatang pohon besar di Kalate yang dianggap sakti, Murmas tempat para dewa Gunung Rinjani; tempat tinggal para Batara dan dewi-dewi.

Pakaian Adat

Dalam masyarakat Bima, bagi kaum perempuan memiliki pakaian khas semacam sarung sebagai bawahan, ada juga yang menggunakan dua buah sarung, yang disebut rimpu. Rimpu adalah pakaian adat perempuan Bima yang digunakan untuk menutup aurat bagian atas dengan sarung sehingga hanya kelihatan mata atau wajahnya saja. Rimpu yang hanya kelihatan mata disebut rimpu mpida.

Rumah Adat

Rumah adat suku Bima bernama "Uma Lengge". Rumah tersebut memiliki struktur terbuat dari kayu, keseluruhan elemennya saling kait mengkait sehingga menjadi kesatuan dan berdiri diatas tiang-tiang. Tiang menumpu pada pondasi-yang berupa sebuah batu alam sebagai tumpuan tiang. Bangunan ini dirancang sangat kokoh agar tahan gempa dan angin.

Kesenian

Suku Bima memiliki tarian khas seperti :

1. Tari buja kadanda
2. Tari Perang
3. Tarian kalero

Tarian kalero yang berasal dari daerah Donggo lama yang merupakan tarian dan nyanyian yang berisi ratapan, pujian, pengharapan dan penghormatan terhadap arwah.

Kesenian lain masyarakat Bima adalah perlombaan balap kuda.

Bahasa

Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Bima atau Nggahi Mbojo yang termasuk dalam rumpun Bahasa Melayu Polinesia. Bahasa tersebut terdiri dari berbagai dialek, yaitu dialek Bima, Bima Dongo dan Sangiang. Dalam dialek bahasanya, mereka sering menggunakan huruf hidup dalam akhiran katanya, jarang menggunakan huruf hidup. Misalnya kata “jangang” diucapkan menjadi “janga”. Bahasa ini juga mirip dengan Bahasa Bugis dan Bahasa Melayu.

Mata pencaharian

Mata pencaharian utama adalah bertani dan sempat menjadi segitiga emas pertanian bersama Makassar dan Ternate pada zaman Kesultanan. Oleh karena itu, hubungan Bima dan Makassar sangatlah dekat, karena pada zaman Kesultanan, kedua kerajaan ini saling menikahkan putra dan putri kerajaannya masing.

Selain bertani, masyarakat Bima juga berladang, berburu dan berternak kuda yang berukuran kecil tapi kuat. Sejak abad ke-14 kuda Bima telah diekspor ke Pulau Jawa. Tahun 1920 daerah Bima telah menjadi tempat pengembangbiakkan kuda yang penting. Para wanita suku Bima membuat kerajinan anyaman dari rotan dan daun lontar, juga kain tenunan "tembe nggoli" yang terkenal.

Sumber :http://dunia-kesenian.blogspot.co.id/2015/04/sejarah-asal-usul-suku-bima-dan.html

2. Etnis Samawa Rea (Sumbawa) 
Semawa mendiami Kabupaten Sumbawa di Pulau Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jumlah populasinya sekitar 190.000 jiwa. Mereka menggunakan bahasa Semawa yang terdiri atas beberapa dialek, yaitu dialek Semawa, Semawa Taliwang, Semawa Baturotok atau Batulante, Ropang Suri, Selesek, Lebah, Dodo, Jeluar, Tanganam, Geranta dan Jeruweh. Dalam kehidupan sehari-hari dikenal bentuk bahasa halus dan bahasa kasar.

Mata Pencaharian Suku Sumbawa

Mata pencaharian utama masyarakat suku ini adalah bercocok tanam di sawah dan di ladang. Selain itu masih banyak di antara mereka yang melakukan pekerjaan berburu, menangkap ikan dan meramu hasil hutan. Pekerjaan lainnya adalah menganyam barang dari daun pandan dan lontar serta menenun kain dengan motif tradisional.

Kekeluargaan, kekerabatan Dan Masyarakat Suku Sumbawa

Sistem hubungan keturunannya adalah patrilineal. Beberapa keluarga inti bergabung ke dalam satu keluarga luas terbatas dan berdiam mengelompok dalam kesatuan virilokal, walaupun sebagian ada juga yang membuat kediaman neolokal. Pada zaman dulu beberapa keluarga inti itu berdiam bersama-sama dalam sebuah uma panggu (rumah panggung besar). Sistem perkawinan orang Sumbawa cenderung untuk menyebabkan tidak dikenalnya bentuk keluarga luas ambilineal. Batas dari lingkaran kekerabarannya adalah cabang  kerabat derajad ketiga. Kerabat yang termasuk ke dalam kategori ini disebut mindoan. Perkawinan yang dianggap ideal adalah perkawinan antara saudara sepupu.

Pada masa sekarang seorang kepala desa (kepasa kampong) dibantu oleh para penasehat yang disebut loka karang, mereka terdiri dari orang tua-tua dari setiap kelompok kekerabatan penghuni kampung. Selain itu kepala desa juga dibantu oleh seorang malar (juru tulis dan pengawas tanah-tanah desa) dan seorang mandur (penghubung). Dalam kehidupan beragama yang disebut hukom di dalam setiap desa dikenal pemimpin seperti penghulu, lehe, modon, ketih, marbot, dan rura. Sebuah desa terdiri dari beberapa buah keban, yaitu anak perkampungan (dusun). Setiap keban terdiri dari satu atau dua pekarangan luas yang diberi pagar dengan empat sampai tujuh buah rumah. Di lingkungan seperti itulah keluarga-keluarga Sumbawa tinggal dan memanfaatkan pekarangannya untuk menanam pohon buah-buahan, tebu, dan tumbuh-tumbuhan untuk keperluan rumah tangga sehari-hari. Pusat orientasi pemukiman desa ini adalah masiget (masjid) tempat masyarakat melakukan sembahyang jumat dan kegiatan keagamaan lainnya.

Masyarakat Sumbawa mengenal pelapisan sosial, karena adanya tiga golongan masyarakat yaitu golongan bangsawan yang biasanya bergelar datu atau dea, golongan merdeka yang biasanya disebut tan sanak, dan golongan hamba sahaya yang disebut lindia. Golongan bangsawan muda digelari Daeng, tapi kalau sudah mempunyai anak dipanggil Datu. Anak hasil perkawinan seorang datu dengan orang biasa dipanggil dengan gelar Lalu bagi laki-laki dan Lala bagi perempuan.

Agama Dan Kepercayaan Asli Suku Sumbawa

Umumnya orang Sumbawa memeluk agama Islam, tetapi sebagian masih tetap dengan kepercayaan asli warisan nenek moyang. Mereka masih percaya bahwa penyakit tertentu disebabkan oleh makhlus halus yang hanya bisa diobati oleh sanro (dukun).

Sumber : http://suku-dunia.blogspot.co.id/2015/01/sejarah-suku-sumbawa.html

3. Suku Sasak (Lombok)
Era Pra Sejarah tanah Lombok tidak jelas karena sampai saat ini belum ada data-data dari para ahli serta bukti yang dapat menunjang tentang masa pra sejarah tanah Lombok.Suku Sasak temasuk dalam ras tipe melayu yang konon telah tinggal di Lombok selama 2.000 tahun yang lalu dan diperkirakan telah menduduki daerah pesisir pantai sejak 4.000 tahun yang lalu, dengan demikian perdagangn antar pulau sudah aktif terjadi sejak zaman tesebut dan bersamaan dengan itu saling mempengaruhi antarbudaya juga telah menyebar.

LOMBOK MIRAH SASAK ADI merupakan salah satu kutipan dari kitab Negarakertagama, sebuah kitab yang memuat tentang kekuasaan dan pemerintahaan kerajaan Majapahit. Kata Lombok dalam bahasa kawi berarti lurus atau jujur, kata mirah berarti permata, kata sasak berarti kenyataan, dan kata adi artinya yang baik atau yang utama maka arti keseluruhan yaitu kejujuran adalah permata kenyataan yang baik atau utama. Makna filosofi itulah mungkin yang selalu di idamkan leluhur penghuni tanah Lombok yang tercipta sebagai bentuk kearifan lokal yang harus dijaga dan dilestariakan oleh anak cucunya.

 
Sasak Children

Dalam kitab – kitab lama, nama Lombok dijumpai disebut Lombok mirah dan Lombok adi beberapa lontar Lombok juga menyebut Lombok dengan gumi selaparang atau selapawis.
Asal-usul penduduk pulau Lombok terdapat beberapa Versi salah satunya yaitu Kata sasak secara etimilogis menurut Dr. Goris. s. berasal dari kata sah yang berarti pergi dan shaka yang berarti leluhur. Berarti pergi ke tanah leluhur orang sasak (Lombok). Dari etimologis ini diduga leluhur orang sasak adalah orang Jawa, terbukti pula dari tulisan sasak yang oleh penduduk Lombok disebut Jejawan, yakni aksara Jawa yang selengkapnya diresepsi oleh kesusastraan sasak. 

Etnis Sasak merupakan etnis mayoritas penghuni pulau Lombok, suku sasak merupakan etnis utama meliputi hampir 95% penduduk seluruhnya. Bukti lain juga menyatakan bahwa berdasarkan prasasti tong – tong yang ditemukan di Pujungan, Bali, Suku sasak sudah menghuni pulau Lombok sejak abad IX sampai XI masehi, Kata sasak pada prasasti tersebut mengacu pada tempat suku bangsa atau penduduk seperti kebiasaan orang Bali sampai saat ini sering menyebut pulau Lombok dengan gumi sasak yang berarti tanah, bumi atau pulau tempat bermukimnya orang sasak. 

Sejarah Lombok tidak lepas dari silih bergantinya penguasaan dan peperangan yang terjadi di dalamnya baik konflik internal, yaitu peperangan antar kerajaan di Lombok maupun ekternal yaitu penguasaan dari kerajaan dari luar pulau Lombok. Perkembangan era Hindu, Budha, memunculkan beberapa kerajaan seperti selaparang Hindu, Bayan. Kereajaan-kerajaan tersebut dalam perjalannya di tundukan oleh penguasaan kerajaan Majapahit dari ekspedisi Gajah Mada pada abad XIII – XIV dan penguasaan kerajaan Gel – Gel dari Bali pada abad VI. Antara Jawa, Bali dan Lombok mempunyai beberapa kesamaan budaya seperti dalam bahasa dan tulisan jika di telusuri asal – usul mereka banyak berakar dari Hindu Jawa hal itu tidak lepas dari pengaruh penguasaan kerajaan Majapahit yang kemungkinan mengirimkan anggota keluarganya untuk memerintah atau membangun kerajaan di Lombok.
Pengaruh Bali memang sangat kental dalam kebudayaan Lombok hal tersebut tidak lepas dari ekspansi yang dilakukan kerajaan Bali sekitar tahun 1740 di bagian barat pulau Lomboq dalam waktu yang cukup lama. Sehingga banyak terjadi akulturasi antara budaya lokal dengan kebudayaan kaum pendatang hal tersebut dapat dilihat dari terjelmanya genre – genre campuran dalam kesenian. Banyak genre seni pertunjukan tradisional berasal atau diambil dari tradisi seni pertunjukan dari kedua etnik. Sasak dan Bali saling mengambil dan meminjam dan terciptalah genre kesenian baru yang menarik dan saling melengkapi.

Gumi sasak silih berganti mengalami peralihan kekuasaan hingga ke era Islam yang melahirkan kerajaan Islam Selaparang dan Pejanggik. Islam masuk ke Lombok sepanjang abad XVI ada beberapa versi masuknya Islam ke Lombok yang pertama berasal dari Jawa masuk lewat Lombok timur. Yang kedua pengIslaman berasal dari Makassar dan Sumbawa ketika ajaran tersebut diterima oleh kaum bangsawan ajaran tersebut dengan cepat menyebar ke kerajaan–kerajaan di Lombok timur dan Lombok tengah.
Mayoritas etnis sasak beragama Islam, namun demikian dalam kenyataanya pengaruh Islam juga berakulturasi dengan kepercayaan lokal sehingga terbentuk aliran seperti waktu telu, jika dianalogikan seperti abangan di Jawa. Pada saat ini keberadaan waktu telu sudah tidak kurang mendapat tempat karena tidak sesuai dengan syariat Islam. Pengaruh Islam yang kuat menggeser kekuasaan Hindu di pulau Lombok, hingga saat ini dapat dilihat keberadaannya hanya di bagian barat pulau Lombok saja khususnya di kota Mataram. 

Silih bergantinya penguasaan di Pulau Lombok dan masuknya pengaruh budaya lain membawa dampak semakin kaya dan beragamnya khasanah kebudayaan sasak. Sebagai bentuk dari Pertemuan(difusi, akulturasi, inkulturasi) kebudayaan. Seperti dalam hal Kesenian, bentuk kesenian di lombok sangat beragam.Kesenian asli dan pendatang saling melengakapi sehingga tercipta genre-genre baru. Pengaruh yang paling terasa berakulturasi dengan kesenian lokal yaitu kesenian bali dan pengaruh kebudayaan islam. Keduanya membawa Kontribusi yang besar terhadap perkembangan ksenian-kesenian yang ada di Lombok hingga saat ini. Implementasi dari pertemuan kebudayaan dalam bidang kesenian yaitu, Yang merupakan pengaruh Bali ; Kesenian Cepung, cupak gerantang, Tari jangger, Gamelan Thokol, dan yang merupakan pengaru Islam yaitu Kesenian Rudad, Cilokaq, Wayang Sasak, Gamelan Rebana.

Sumber : http://sejarahini.blogspot.co.id/2013/06/mengenal-sejarah-suku-sasak.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar